Monday, September 05, 2005

 

Selamat Datang di Situs Redha Hendry Filcozwei Jan


Tentang Penulis:

Hendry, begitu ia biasa dipanggil. Menyelesaikan TK hingga SMA-nya pada sekolah Katolik (Xaverius) di kota Lubuk Linggau. Setelah lulus dari SMA Xaverius 1 Palembang, pria bernama lengkap Hendry Filcozwei Jan ini mengambil gelar sarjana (S1) Economics and Development Studies from University of Sriwijaya.

Termotivasi menulis sejak cerita humor kirimannya “Bapak Soneta” dimuat di majalah anak-anak Tomtom. Meski hadiah tulisan tidak diterimanya (hilang dalam pengiriman), ia tetap gemar menulis.

Rubrik "Pojok" mading yang diasuhnya dengan nama Sisil (Siswa Usil) keluar sebagai juara II dalam Lomba Mading se-SMA Xaverius 1 Palembang, karya tulisnya yang berjudul "Peningkatan Kualitas Penyajian Informasi dalam Penerbitan Kampus, Studi Kasus: Majalah Value Added" keluar sebagai juara I Lomba Penulisan Makalah dalam rangka Pelatihan Jurnalistik Mahasiswa Tingkat Dasar yang diselenggarakan oleh Majalah Value Added (FE Unsri), Majalah Forum Mahasiswa (FH Unsri,) Tabloid Gelora Sriwijaya (tabloid Unsri) dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT Unsri) pada tanggal 29, 30 Mei dan 6 Juni 1993.

Cerpen Buddhisnya “Sepenggal Kisah…..” yang ber-setting Vihara Vimala Dharma keluar sebagai juara harapan I pada Lomba Cerpen Buddhis yang diselenggarakan oleh PMVB (Persaudaraan Muda-Mudi Vihara Borobudur), Medan (16 Des 2001) dan akan diterbitkan bersama cerpen pemenang lainnya pada Waisak 2549 BE (tahun 2005) ini.

Pernah menjadi wapemred majalah Value Added, koresponden tabloid Gelora Sriwijaya, pemred majalah Citta (terbitan KMBP, Keluarga Mahasiswa Buddhis Palembang), Gema Dharmakirti (terbitan PPBD, Persaudaraan Pemuda Buddhis Dharmakirti), koresponden Manggala (koran dan majalah Buddhis Nasional), editor majalah Buddhis Ekayana, menerbitkan Warta BCC (buletin Buddhist Correspondent Club, Palembang), dan hingga kini masih aktif sebagai kontributor rubrik TEXAS (TEROPONG XAVERIUS SATU) di Gita, majalah SMA Xaverius 1 Palembang (wawancara Hendry dengan Xaverian sukses dapat dilihat di http://www.hfj-texas.blogspot.com/), penulis tetap “Introspeksi” di BVD/ Berita Vimala Dharma, Bandung (silakan kunjungi http://www.hfj-intro.blogspot.com), dan bersama Linda, istrinya menjadi penulis “Realita & Dhamma” di Gema Dharmakirti, terbitan MBI kota Palembang.

Hendry F. Jan & Linda, penulis "Realita & Dhamma"


Buku yang telah diterbitkannya adalah Setetes Dhamma (Mei 1995), Setetes Dhamma 2 (Maret 2000), Setetes Dhamma 3 (Mei 2000), Kumpulan Cerpen: Anting-Anting Pink (02-02-2002), Buku Mini Tanda Kasih (2003 2003), dan Buku Tanpa Judul (02-03-04) yang mendapat penghargaan Muri (Museum Rekor Indonesia).

Selain menulis, ayah Anatahapindika Dravichi Jan (Dhika) dan Revata Dracozwei Jan (Ray) ini hobby filateli, sulap, dan menghasilkan karya-karya unik. Nama Hendry telah 6 kali tercatat di Muri (kunjungi juga http://www.hfj-rekoris.blogspot.com/). Berkaitan dengan hal-hal unik yang dilakukannya, Hendry pernah tampil di “Jaya Suprana Show” (TPI), “Pesta” (Indosiar), Rekor Nekat (TV7), Luar Biasa (antv), Bussseeet! (TV7), Unik (RCTI), “Detak Pasundan” (Pro 3 RRI Bandung), dan bersama sekitar 160 rekoris (pemegang rekor) Muri lain, ia diundang ke Konvensi Muri (26 April 2000) di Istana Negara yang juga dihadiri presiden saat itu, Gus Dur. Berkat kajiannya tentang hal-hal keliru, Hendry mendapat pengakuan sebagai kelirumolog bidang bahasa dari Pusat Studi Kelirumologi pimpinan Dr. Jaya Suprana (silakan lihat: http://www.hfj-opini.blogspot.com/). Diakui oleh Jaya Suprana, suami Linda ini, adalah satu-satunya orang di Indonesia (mungkin juga di dunia) yang tercatat sebagai kelirumolog yang sekaligus juga rekoris.

Situs-situs Hendry Filcozwei Jan yang lain:
http://www.vihara.blogspot.com Tabel situs Hendry Filcozwei Jan
http://www.hfj-intro.blogspot.com/ artikel dari rubrik Introspeksi
http://www.hfj-opini.blogspot.com/ tulisan-tulisan Hendry Filcozwei Jan
http://www.hfj-rekoris.blogspot.com/ info cara menembus rekor Muri
http://www.hfj-texas.blogspot.com/ wawancara dengan Xaverian sukses
http://www.hensmagic.blogspot.com/ situs sulap Hendry Filcozwei Jan

Tuesday, May 24, 2005

 

Artikel Realita & Dhamma (Redha)

******************************************************************************************************
Ajaran Sang Buddha (Dhamma) telah dibabarkan Sang Buddha hampir 2600 tahun lalu. Masih relevankah Dhamma dengan keadaan dunia sekarang ini? Hendry Filcozwei Jan, mantan pemred GD, bersama Linda (istrinya) mencoba menyajikan peristiwa nyata yang terjadi di sekitar kita untuk dijadikan sebagai bahan renungan kita bersama. Semoga bermanfaat. Komentar, kritik, saran, atau bagi yang ingin berbagi kisah/ pengalaman Anda, bisa dialamatkan ke zwei@bdg.centrin.net.id
******************************************************************************************************


Redha edisi Maghapuja 2551 BE - 2007

Bagai Sang Surya…


Sebelum memulai artikel ini, mari kita simak kisah berikut ini:

Hadiah Cinta yang Tak Ternilai


"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan buruk.

Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata, "Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."

Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, "Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan padanya.

Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya pada mereka. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia," kata sang ayah.

Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, "Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini."

Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"

Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati. Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.

*****


Kisah ini dan kisah mengharukan dan penuh inspirasi lainnya dapat Anda baca dengan meng-klik www.kisah-mengharukan-dan-inspiratif.blogspot.com


Begitu besarnya pengorbanan seorang ibu dalam kisah tadi. Mungkin hal itu tidak dilakukan oleh ibu kita. Tapi biarpun demikian, beliau (ibu kita) sudah melakukan pengorbanan besar dimulai saat beliau mengandung kita. Selama 9 bulan lebih membawa dan menjaga kita. Dengan senang hati (meski kadang terpaksa) menelan makanan bergizi dan meminum vitamin dari dokter, meski sebenarnya mencium baunya saja ia sudah mual. Tapi demi kebaikan calon buah hatinya, ia rela melakukannya. Lalu perjuangan hidup-mati, melahirkan kita. Menyusui, merawat,… hingga kita besar.

Apa yang harus kita lakukan untuk “membalas” kebajikan beliau? Berikut petikan dari Sigalovada Sutta, jawaban Sang Buddha atas pertanyaan Sigala Putra:

“… O putra kepala keluarga, dalam lima cara seorang anak harus memperlakukan orang tuanya seperti arah Timur: dahulu aku dirawat oleh mereka, sekarang aku akan merawat mereka; aku akan memikul beban kewajiban-kewajiban mereka; aku akan mempertahankan keturunan dan tradisi keluarga; aku akan menjadikan diriku pantas menerima warisan; aku akan melakukan perbuatan-perbuatan baik dan upacara agama setelah mereka meninggal dunia…”


Banyak yang berpendapat, kita tak mampu membalas segala kebaikan yang kita terima. Memang demikianlah adanya. Yang dapat kita lakukan hanyalah merawat mereka seperti mereka dulu merawat kita, selalu melakukan perbuatan baik, baik saat mereka masih ada maupun setelah mereka tiada (melakukan pelimpahan jasa).

Menitipkan mereka di Panti Wredha (panti jompo)? Ini yang harus kita hindari. Siklus hidup kita seperti parabola terbalik. Mulai dari bawah, naik, sampai puncak, lalu turun kembali. Makan dan minum harus disuapi, buang kotoran di tempat tidur, bisa merangkak, berjalan, lari (sampai puncaknya), kemudian turun kembali. Di masa tua, kita mulai susah untuk berjalan, makan harus disuapi, bahkan buang kotoran juga di tempat tidur. Pikiran kembali seperti anak kecil.

Dulu (saat bayi), kita juga melakukan hal yang sama. Apa yang dilakukan orang tua kita (terutama ibu)? Mereka memperlakukan kita dengan penuh kasih sayang. Sedang enak tidur, kita menangis, beliau bangun dan menyusui kita. Saat kita sakit, semalaman beliau tidak tidur, menjaga kita (selalu memegang kening kita, untuk cek, apakah kita masih demam,…). Saat beliau makan, saat beliau sibuk mengerjakan kegiatan rumah tangga,… begitu kita menangis, semua kegiatan dihentikan demi kita.

Pantaskah di hari tuanya, mereka jadi penghuni Panti Wredha? Setiap menuliskan artikel tentang ibu, mata penulis selalu berkaca-kaca, seperti saat ini. Banyak yang telah ibu (almarhumah) lakukan buat penulis, tapi hanya sedikit sekali yang sempat penulis lakukan untuk beliau. Di tiap artikel tentang ibu, penulis selalu berpesan. Mari kita lakukan sesuatu untuk ibu kita. Mumpung kini beliau masih ada. Kita tidak pernah tahu kapan beliau akan meninggalkan kita.

Ibu tidak berada di samping kita? Angkat telpon, bicaralah pada beliau. “Mama,… aku sayang Mama…” Ibu tinggal dekat atau serumah dengan kita? Banyak hal kecil yang bisa kita lakukan untuk beliau. Belajar menjadi pendengar kalau selama ini kita yang terlalu banyak bicara, mengajak beliau makan malam di luar, berusaha tidak sering membantah, memberi “surprise” di hari ibu (22 Sesember), hari Kartini (21 April), dan hari ultahnya. Memang berbuat baik (kepada siapapun) tidak harus pada hari tertentu. Sang Buddha mengajarkan kita untuk berbuat setiap saat. Tapi, tidak ada salahnya berbuat lebih dan menjadikan momen hari ibu, hari Kartini, ultah beliau, atau hari ulang tahun pernikahan ortu sebagai hari istimewa.

Bagaimana besarnya jasa kebaikan seorang ibu? Mari kita simak syair lagu “Kasih Ibu” yang pernah kita nyanyikan sejak kita masih di TK. “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya, menyinari dunia…”



Note:
Mengenang 7 tahun kepergian Mama tercinta,
Ng Pik Laij (01 Feb 2000-01 Feb 2007).
Semoga Mama terlahir dalam kondisi yang lebih baik,
selalu berada di jalan Dhamma sampai tercapai Nibbana.

*************************

Redha edisi Metta 2551 BE - 2007

Salesman, Simbiosis, dan Keadilan

Ketika sedang asyik membaca buku di Gramedia (di seberang BIP = Bandung Indah Plaza), penulis disapa seorang pemuda. Sopan dan tampak terlalu ramah bagi penulis. Setelah basa-basi berkenalan, penulis ditanya, biasa kebaktian di mana? Penulis jawab, sejak pindah ke Bandung, penulis jarang kebaktian. Setelah ngobrol ngalor ngidul, dia mengajak penulis untuk ikut kebaktian di tempatnya sambil menyerahkan sebuah kartu nama. Kami (penulis dan dia) sama-sama menggunakan istilah kebaktian, dan kegiatan kebaktiannya juga dilaksanakan pada hari yang sama (Minggu).

Apakah penulis hadir ke tempatnya? Oh… tentu saja tidak. Kami berbeda keyakinan. Itu kejadian beberapa tahun lalu. Rekan penulis juga banyak mengalami kejadian sama. Dari kelompok ini, keyakinan (baca: agama) sering ditawarkan seperti seorang salesman menjual barang. Bahkan, rekan penulis yang Muslim pun pernah mendapat tawaran serupa.

“Mengapa Anda beragama Buddha?” begitu pula pertanyaan yang pernah penulis terima. Ehm… mengapa ya? Alasan pertama adalah kecocokan. Penulis merasa apa yang ada didalam Dharma, cocok dengan diri penulis. Penulis sering mengibaratkan dengan makanan. Semahal apa pun, sebanyak apa pun gizinya,… kalau tidak cocok, untuk apa? Udang dan kepiting, hidangan favorit bagi banyak orang. Tapi bagi penulis, bukan hanya alergi (baca: sekujur tubuh akan gatal, timbul bentol-bentol merah), bahkan penulis pernah pingsan dan terjatuh sampai gegar otak ringan setelah makan kepiting. Begitu kuat “racun” kepiting menyerang tubuh penulis. Jadi, percuma saja Anda promosi panjang lebar tentang lezatnya kepiting kepada penulis. Ini bukan berarti kepiting atau udang itu racun, sama sekali tidak. Hanya saja tidak cocok bagi penulis.

Alasan kedua dan seterusnya? Anda sarikan saja sendiri dari tulisan ini. Oh ya, bicara soal salesman, bagi penulis, Buddha adalah seorang “salesman” teladan. Tidak ada promosi produk Beliau nomor satu, yang lain tak bermutu. Tidak ada paksaan harus membeli produknya. Anda diperbolehkan mencicipi produknya tanpa harus jadi anggota atau membeli terlebih dahulu. Kalau cocok boleh teruskan, tidak cocok tak ada paksaan. Semua boleh diuji dengan prinsip ehipassiko (pelajari, jalani, dan buktikan).


***


Dari pelajaran biologi, penulis mendapat istilah simbiosis (kerja sama saling menguntungkan). Seperti kumbang dan kembang. Kumbang mendapat madu, kembang terbantu proses penyerbukannya. Buddha Dharma juga mengajarkan hal yang sama. Semua makhluk hidup diharapkan berbahagia (tidak ada yang dirugikan atau menjadi obyek penderita). Meski bukan keharusan, vegetarian adalah salah satu wujud cinta kasih kepada hewan. Lebih luas lagi, dalam setiap puja bakti, kita mengucapkan “Sabbe satta bhavantu sukhitatta” Semoga semua makhluk hidup berbahagia.” Juga dalam Karaniya Metta Sutta ada kutipan “… Makhluk hidup apa pun juga, yang lemah dan kuat tanpa kecuali, yang panjang atau besar, yang sedang, pendek, kecil, atau gemuk, yang tampak atau tidak tampak, yang jauh ataupun dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk hidup berbahagia,…”

Hukum karma (sebab akibat), ehipassiko, tidak ada dogma yang harus dipercaya secara membuta,… adalah sedikit di antara sekian banyak kecocokan penulis dengan Buddha Dharma. Terus terang pengetahuan Dharma penulis masih sangat minim, tapi inti ajaran semua Buddha dalam Dhammapada 183 yang berbunyi “Janganlah berbuat jahat, perbanyak perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran” sudah cukup memberi gambaran betapa agungnya Dharma yang dibabarkan Buddha.


***


Terkadang kita sering menghadapi dilema dalam hidup. Apa yang harus kita lakukan? Prinsip sederhana seperti inilah yang penulis jadikan patokan. “Bila perbuatan itu baik bagi dirimu dan orang lain, atau setidaknya baik bagi dirimu tapi tidak merugikan yang lain…, lakukanlah”. Di sinilah “keadilan” harus kita tegakkan. Kita harus adil, pada diri sendiri, terlebih pada orang lain atau makhluk lain. Tidak boleh egois alias mau menang sendiri.

Kalau penulis kembali mendapat pertanyaan “Mengapa Anda (masih) beragama Buddha? Apa yang harus penulis jawab? Hidup adalah proses belajar tanpa henti. Penulis tidak menutup mata pada ajaran lain. Tapi, “Kalau tidak ada yang lebih baik dan cocok dari Buddha, buat apa beralih keyakinan?” (Ssst… ini plesetan dari slogan iklan obat nyamuk semprot “Kalau tidak ada yang lebih bagus dari…, buat apa bayar lebih mahal”). Atau penulis akan meminjam syair nan puitis dan romantis dari Katon Bagaskara “…Sungguh kuakui, tak bisa ke lain hati…”


*************************

Redha edisi Kathina 2550 BE - 2006

Anda Ingin Kaya?

Penulis yakin, semua akan menjawab ya. Siapa sih… yang tidak mau kaya? Kelihatannya serba enak, semua ada, mau apapun bisa.

Apakah yang terlihat itu semuanya benar? Coba simak kisah berikut ini:

Melihat kehidupan orang kaya atau artis, tampaknya mereka kaya dan sukses. Bahagiakah? Tidak jelas, tapi kalau dari penampilan mereka di TV, sepertinya ya.

Sejak kecil tuan A sudah terbiasa hidup susah. Ia terlahir di keluarga miskin, hidup serba kekurangan. Ia sudah bosan hidup menderita, maka sudah bulat tekadnya untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. Setelah menamatkan sekolah, ia giat bekerja. Demi mencapai keinginannya, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja (mencari uang). Bahkan waktu yang seharusnya untuk istirahat, ia korbankan untuk mencari uang. Bagaimana hasilnya?

Keinginan tuan A tercapai, ia menjadi kaya. Tapi sangat disayangkan, ia tidak bisa menikmati kekayaannya. Di usia tua, ia kaya, tapi dengan setumpuk penyakit bersarang di tubuhnya.

Harta banyak, tapi tak bisa dinikmati. Mau makan yang enak? Sebagian besar makanan yang enak termasuk dalam daftar pantangan. Mau jalan-jalan atau liburan ke luar negeri? Dengan kondisi kesehatan sekarang, hampir tidak mungkin. Uangnya lebih banyak disetorkan kepada dokter dan dibelikan obat-obatan agar kondisi kesehatannya tidak drop. Kalaupun pergi ke luar negeri, itu bukan berlibur tapi dalam rangka pengobatan.


*****


Nah… bahagiakah tuan A? Kalau dilihat dari cerita tadi, tentu tidak bahagia. Lalu artis yang ramai jadi perbincangan di berbagai infotainment, apakah mereka bahagia? Kalau dilihat dari tampilan luarnya: wajah oke, cari uang gampang, pakaian bagus, penggemar banyak,… kelihatannya bahagia (ini tentu dambaan banyak orang). Fenomena ini bisa dilihat dari banyaknya peserta yang ikut setiap audisi pemilihan penyanyi, bintang iklan, model, sampai pelawak.

Tapi bahagia atau tidak, hanya mereka sendiri yang merasakan. Di depan kamera, mereka selalu menampilkan yang terbaik. Penampilan oke, wajah penuh senyum,… karena itu modal mereka mencari nafkah.

Banyak cerita di balik layar yang mengungkapkan mereka tidak bahagia. Tidak punya privasi. Apapun kegiatan mereka, selalu jadi incaran wartawan. Makan malam bersama keluarga tidak bisa tenang karena “diganggu” fans yang minta tanda tangan dan foto bersama. Bahkan banyak yang depresi menghadapi karier yang mandeg, tuntutan untuk selalu tampil sempurna (mulai pakaian mahal, aksesories mewah, harus bedah plastik agar bertambahnya tidak mengubah penampilan), persaingan dari para pendatang baru, dan lain-lain sehingga untuk tidur pun mereka harus minum obat. Dan kalau sudah tidak kuat, bisa ke narkoba. Ada juga yang over dosis obat tidur.


*****


Uang bukanlah segalanya. Anda mungkin pernah mendengar/ membaca serangkaian kata bijak seperti ini:

“Uang dapat membeli kasur yang empuk, tapi tidak bisa membeli tidur yang nyenyak” dan masih ada sederet kata bijak dalam rangkaian ini.

Dalam kasus tuan A, coba renungkan kata-kata bijak ini:

“First, people lossing health gaining wealth, then they lossing their wealth regaining heatlh” yang artinya kurang lebih “Awalnya orang kehilangan kesehatan demi kekayaan, akhirnya orang kehilangan kekayaannya untuk mendapatkan kembali kesehatan.”

Dalam agama Buddha, tidak larangan orang menjadi kaya. Bukankah dengan kaya, kesempatan berbuat baik (berdana) jadi lebih besar? Anathapindika, orang kaya/ hartawan yang dermawan pada masa Sang Buddha adalah contohnya. Boleh kaya asalkan sesuai Dhamma, dan semuanya harus dijalankan secara seimbang. Makanan untuk fisik perlu, untuk batin juga perlu. Kerja perlu, istirahat juga perlu. Banyak uang/ kaya itu hanya salah satu jalan untuk mencapai tujuan akhir kita (Nibbana). Ya, semua harus dijalankan secara seimbang. Ini prinsip keseimbangan yang dibabarkan Sang Buddha, jalan tengah.

Di akhir uraian ini, mari kita renungkan sabda Sang Buddha dalam Dhammapada 204:

Kesehatan adalah keuntungan paling besar,
kepuasan adalah kekayaan yang paling berharga,
kepercayaan adalah saudara yang paling baik,
Nibbana adalah kebahagiaan tertinggi.

*************************
Redha edisi Asadha 2550 BE - 2006

Ramalan = Harga Mati???


Bhante Uttamo, saya diramal bahwa tahun ini saya harus berhati-hati karena secara umum kondisi saya sangat jelek, terutama di bulan April. Berapa pun uang yang saya miliki pastilah habis… (menyeramkan bukan?) Secara Buddhis, saya telah melakukan dana mulai Des 2003 berupa dana di vihara, dana makanan kepada Bhante pada hari Sabtu dan Minggu dan sebagainya. Saya ingin meminta petunjuk kepada Bhante, bagaimana menangkal semua ini, apakah dana yang saya lakukan masih belum maksimal atau bagaimana sebaiknya?

Jawaban Bhante:
Ramalan nasib sebenarnya adalah merupakan perkiraan akan kejadian di masa yang akan datang dengan melihat kondisi saat ini. Ramalan nasib ini bisa disamakan dengan prakiraan cuaca yang sering dilihat di televisi. Prakiraan cuaca untuk besok pagi ditentukan oleh kondisi angin maupun kelembaban saat ini. Namun, apabila esok hari terjadi sesuatu hal di luar prakiraan yang ada, maka prakiraan cuaca itu pun meleset.

Demikian pula dengan ramalan nasib, kalau seseorang yang diramal nasibnya dapat terus mengembangkan kebajikan melalui badan, ucapan, dan perbuatan maka isi ramalan nasib itu pun dapat berubah. Orang yang diramal menderita dengan adanya timbunan kebajikan yang ia lakukan selama ini, akan membuat berkurang penderitaannya. Sebaliknya, orang yang diramal akan hidup bahagia, apabila terus melakukan kebajikan maka hidupnya akan bertambah bahagia.

Oleh karena itu, seorang umat Buddha hendaknya memiliki prinsip hidup untuk terus menerus mengembangkan kebajikan dengan memperbanyak kerelaan, kemoralan serta konsentrasi. Dengan sering melakukan ketiga bentuk kebajikan itu, maka kebahagiaan akan datang dan kesulitan pun akan berkurang.

Berdana ke vihara maupun berdana makan kepada para bhikkhu adalah merupakan hal yang sangat baik, apalagi bila ditambah dengan mengembangkan sila, paling tidak delapan sila seminggu sekali serta bermeditasi setiap pagi dan sore, maka timbunan kebajikan ini akan dapat membantu seseorang terhindar dari berbagai kesulitan.

Itu kutipan tanya jawab dari situs http://www.samaggi-phala.or.id/ Dari kutipan tadi, kita bisa mengetahui, dalam agama Buddha, kebaikan dan keburukan yang kita alami itu, sangat tergantung dari tindakan kita sendiri. Kita banyak berbuat baik, kita akan bahagia, begitu pula sebaliknya. Pendek kata, apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik.

Tidak ada campur tangan pihak lain dan “nasib” (keadaan hidup kita), bukanlah sesuatu “harga mati.” Kita memang punya bekal karma dari masa lalu (kehidupan yang lalu), yang akan mewarnai kehidupan kita saat ini. Ibarat sebuah gelas berisi air, tiap orang memiliki air yang berbeda-beda kejernihannya. Air yang bening mewakili perbuatan baik, tinta berwarna hitam mewakili perbuatan buruk. Gelas yang berisi air jernih (sampai dasar gelas terlihat jelas) diibaratkan seorang yang mempunyai tabungan karma baik yang sangat banyak, sebaliknya orang yang memiliki gelas dengan air berwarna hitam pekat mewakili orang yang punya sangat banyak tabungan karma buruk.

Apakah air warna hitam pekat akan selamanya hitam pekat? Dan, apakah gelas berisi air jernih akan tetap jernih? Belum tentu. Semua sangat tergantung cairan mana yang kita teteskan ke dalam gelas. Anda tidak percaya? Silakan coba. Ambil 2 gelas kecil, 1 diisi tinta, 1 diisi air bening. Lalu teteskan air bening ke gelas berisi tinta terus menerus (biarkan saja tumpah, terus tetes dengan air bening), begitu pula sebaiknya gelas berisi air ditetesi dengan tinta. Anda akan lihat hasilnya.

Apakah contoh tadi berlaku dalam kehidupan nyata? Jelas berlaku. Dhamma yang dibabarkan Sang Buddha tidak terbatas ruang dan waktu, semua sesuai dengan kehidupan nyata.

Ada kisah lain, tentang ramalan. Bila ada 2 orang: 1 orang kaya (banyak warisan dari orang tua) dan 1 orang miskin. Dari kondisi saat itu, secara teori orang akan meramalkan hidup yang kaya akan bahagia, yang miskin kurang bahagia (karena untuk makan sehari-hari saja susah). Mendengar ramalan ini, si kaya santai saja, tinggal makan enak, foya-foya, tidak mau bekerja, bahkan berjudi. Si miskin berbuat sebaliknya. Ia rajin bekerja, hemat, dan berusaha menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung dan berdana. Bagaimana keadaan sekian tahun kemudian? Apakah sesuai dengan ramalan? Jawabnya: tidak! Ramalan hanyalah prediksi. Si kaya memang punya kecenderungan lebih bahagia (setidaknya untuk makan, dia tidak perlu bingung lagi). Mau berusaha, dia punya modal, mau berdana, dia punya uang. Secara materi, karma masa lalu si kaya, jelas lebih bagus (terlahir sebagai anak orang kaya). Keadaan si miskin sebaliknya.

Bila Anda sedang connect internet, coba kunjungi
http://www.vihara.blogspot.com/ lalu klik “hfj-intro”, di sana ada tulisan berjudul “Semut” yang mengisahkan karma baik seorang samanera kecil, yang pada akhirnya bertolak belakang dengan ramalan (penglihatan mata batin) Bhante.

Jadi, bila menurut prediksi peramal, ramalan bintang, atau penglihatan “orang pintar” hidup Anda akan bahagia, sukses,… jangan terlena. Perjalanan hidup Anda diramalkan tidak begitu baik, jangan pesimis. Ramalan bukanlah “harga mati” dan bangunan masa depan hidup Anda ada di tangan Anda. Andalah yang jadi arsitek untuk bahagia tidaknya bangunan hidup Anda.

*************************

Redha edisi Waisak 2550 BE - 2006

Vegetarian & Meditasi



Apa yang kita alami dalam hidup ini terus berubah. Orang sering mengibaratkannya seperti roda pedati, kadang di atas, kadang di bawah. Selalu berputar. Bukan hanya status sosial kita, karir, dan kekayaan, tapi juga dalam dunia mode dan segi kehidupan yang lain.

Mode celana panjang dengan bagian bawah besar, lalu berganti dengan bagian bawah yang kecil, nanti akan kembali lagi ke semula (hanya saja dengan sedikit variasi baru). Mode rambut, rok, dan pola makan juga begitu. Semula orang lebih memilih konsumsi makanan yang alami, lalu karena trend makanan yang serba instant (fast food atau cepat saji), masyarakat pilih yang praktis. Lalu setelah tahu makanan cepat saji, konsumsi daging, makanan dengan pengawet, pewarna, dan tambahan macam-macam bahan kimia itu tidak baik bagi tubuh (apalagi di tengah temuan makanan berformalin dan boraks), orang kembali berpaling kepada yang alami.

Sejak beberapa waktu lalu, pola makan vegetarian jadi trend. Lihatlah menjamurnya rumah makan yang menyediakan makanan vegetarian. Ini salah satu pilihan yang baik (bukan keharusan) dalam agama Buddha. Memang makanan tidak menyebabkan manusia menjadi suci. Tapi setelah mendalami apa yang diajarkan Sang Buddha, kita bisa memaklumi mengapa orang memilih menjadi vegetaris. Ini salah satu satu perwujudan cinta kasih kita terhadap semua makhluk hidup yang sering kita ucapkan saat membaca paritta.

Hanya yang Buddhis yang vegetarian? Tidak. Sekarang banyak yang bukan Buddhis tapi jadi vegetaris. Hampir semua kebutuhan hidup kita, bisa diperoleh dari tumbuhan. Justru kita tidak bisa hidup tanpa tumbuhan. Hasil penelitian para ahli juga menunjukkan bahwa hidup vegetarian (asal bisa mengatur menunya), jauh lebih baik bagi kesehatan daripada banyak makan daging.

Dulu, dalam benak penulis, tanpa makan daging, kita akan loyo. Tidak sehat, tidak kuat. Ternyata pandangan ini tidak benar. Penulis pernah membaca sebuah buku tentang vegetarian (maaf, lupa judulnya). Di sana dijelaskan segala kebaikan menjadi vegetaris dan dampak buruk akibat banyak mengkonsumsi daging. Sebagai pembuka wawasan bagi yang berpandangan bahwa vegetaris akan loyo, tidak bertenaga, sakit-sakitan, dan lain-lain, di sana dipaparkan data. Ternyata banyak olahragawan/ atlet pemegang rekor dunia adalah vegetarian!

Sang Buddha mengajarkan keseimbangan (jalan tengah). Tidak hanya makanan bagi tubuh yang menyehatkan, tetapi juga diajarkan meditasi untuk menyehatkan jiwa, memurnikan pikiran. Apakah meditasi yang telah ribuan tahun diajarkan masih bermanfaat? Tentu saja! Anda tentu juga pernah membaca iklan di media massa, bahwa sekarang ini banyak pelatihan meditasi. Peserta meditasi bukan hanya dari kalangan Buddhis, tapi dari semua kalangan. Seandainya, pola makan vegetarian dan meditasi (hanya sebagian dari sekian banyak ajaran Sang Buddha), tidak relevan lagi dan tidak bermanfaat, mungkinkah ada yang akan mengikuti apa yang beliau ajarkan? Satu lagi contoh betapa agungnya ajaran Sang Buddha. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan, tak tertinggal atau terpinggirkan oleh perkembangan jaman.

*************************
Redha edisi Metta 2550 BE - 2006

Belajar Cinta dari Sang Buddha

Kisah kali ini dari kiriman seorang pembaca, sebut saja RJ (laki-laki). RJ adalah seorang Buddhis keturunan (maksudnya beragama Buddha karena terlahir di keluarga Buddhis, Buddhis tradisi). Tulisan ini dibuat berdasarkan sebagian dari cerita-ceritanya via e-mail (tanpa mengubah inti cerita, penulis menceritakannya kembali dalam gaya bahasa yang lebih mudah dimengerti dan mudah-mudahan lebih enak dibaca).

Begini ceritanya. Saya terlahir di keluarga Buddhis, tapi kami tidak begitu tahu tentang ajaran Sang Buddha. Saya kenal ajaran Sang Buddha dari seorang teman sekelas, sebut saja Budi. Hanya dari obrolan, kemudian saya belajar banyak dari kehidupan sehari-harinya. Dari sosok Budi, akhirnya saya tertarik mempelajari ajaran Sang Buddha (yang selama ini tidak terpikirkan, meski saya Buddhis sejak lahir).

Saya pernah tertegun ketika Budi mengingatkan saya agar saya tidak menjepret (membidik capung, cecak atau binatang kecil lain dengan karet gelang), ketika sedang bermain di rumahnya. “Semua makhluk ingin hidup, biarkan mereka hidup. Apalagi binatang tersebut tidak mengganggu kita. Kita juga tentu tidak ingin diganggu apalagi dibunuh. Ya ‘nggak?” ujarnya.

Pulang dari rumah Budi saya merenung. Selama ini saya tidak menyadari (tepatnya tidak mau tahu) keisengan saya itu menyengsarakan makhluk lain. Toh yang sakit bukan saya, mengapa harus peduli? “Kalau tidak ingin dicubit, jangan mencubit” ini ungkapan sederhana yang diucapkan Budi makin membuat saya tersadar.

Secara perlahan saya belajar Dhamma (baik dari keseharian Budi dan keluarganya, buku Dhamma yang dipinjamkannya, VCD ceramah Bhante, sampai mendengar langsung Dhammadesana Bhante di vihara saat ikut kebaktian). Saya jadi tahu tentang hukum karma (sebab akibat).

Beberapa ayat Dhammapada seperti 129-132: (saya kutipkan Dhammapada 129):

Semua orang takut akan hukuman, semua orang takut akan kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendiri, hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan pembunuhan.”

Juga bait ke-4 dan ke-5 dari Karaniya Metta Sutta (Sutta Pengembangan Cinta Kasih) yang semakin menyadarkan saya. “Makhluk hidup apapun juga, yang lemah atau kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil, atau gemuk. Mereka yang terlihat maupun yang tidak terlihat, yang berada di tempat jauh atau dekat, yang telah lahir maupun yang akan lahir, semoga semua makhluk hidup berbahagia.”

Saya sadar bahwa semua makhluk hidup ingin bahagia, takut akan kematian, tidak ingin disakiti. Saya sadar betapa agungnya ajaran Sang Buddha “Memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk hidup tanpa batas.”

Keteladanan Sang Buddha bukan saja tidak menyakiti makhluk lain dan memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk tanpa batas. Saya pernah mendengar kisah Sang Buddha dari Budi (saya lupa cerita persisnya). Dalam suatu kelahiran kembali (sebelum menjadi Buddha), beliau terlahir sebagai seekor rusa. Begitu sayangnya beliau pada makhluk lain, beliau merelakan daging dari tubuhnya untuk dimakan. Sungguh sebuah contoh cinta kasih yang tak terbatas.

Apa yang saya lakukan, masih sangat… sangat… jauh dari yang dicontohkan Sang Buddha. Seperti yang tertulis dalam Dhammapada 183: “Janganlah berbuat jahat, perbanyaklah perbuatan baik, sucikan hati dan pikiran, inilah inti ajaran semua Buddha.” Saya memang belum banyak berbuat kebajikan, belum bisa sucikan hati dan pikiran, namun saya berusaha mengurangi “kejahatan” (menyakiti makhluk lain) yang selama ini saya lakukan. Semua hal memang harus bertahap. Jalan masih panjang, tapi saya sudah mulai melangkah, walau baru setapak. Terima kasih kepada Budi yang telah mengenalkan Dhamma kepada saya.

*************************

Redha edisi Kathina 2549 BE - 2005

Siapa Menanam, Ia akan Memetik


Penulis pernah menerima e-mail dari seorang teman non Buddhis (kita sebut ia S, seorang ibu dengan 2 putra). Ia menceritakan kisah teman sekantornya yang sangat beruntung. Teman S ini (sebut saja MD, seorang Buddhis), tidak kaya, tapi tidak pernah kekurangan dan selalu beruntung.

Apa saja keberuntungan MD? Mari kita simak cerita teman penulis ini.

MD hanya tamatan SMEA, bukan seorang sarjana. MD sudah menikah dengan satu orang putra. Karirnya bagus, jabatannya cukup bagus. Jarang ada lulusan SMU yang bisa menduduki jabatan itu. S sendiri yang sarjana, hanya jadi bawahan MD. Itu saja? Belum semuanya.

Di kantor, kami (S dan MD) adalah teman akrab. MD bisa bersikap, saat kerja ia seorang atasan, tapi di luar urusan kerja, dia sahabat saya. Kami berdua sering ngobrol masalah keluarga. Saya tahu kehidupan MD biasa saja (maksud saya tidak termasuk kaya, tapi juga tidak kekurangan).

Penghasilan MD dan suami cukup untuk keperluan sehari-hari. Tapi kehidupan tidak selalu berjalan mulus. Dan sangat wajar bila MD juga pernah mengalami masalah keuangan. Berkali-kali MD curhat, ia sedang butuh uang. Suatu waktu MD cerita ia butuh uang untuk membeli mesin cuci, pernah pula MD ingin membelikan sepeda yang diinginkan anaknya, di lain waktu ia perlu uang untuk melunasi cicilan rumahnya. MD merasa tak tenang bila punya hutang. Sebagai teman baik, saya ingin membantu, tapi apa daya saya tak punya uang. Nah… di sinilah saya merasa MD sangat beruntung.

Setiap ada masalah keuangan, selalu saja ada jalan keluar yang tak disangka-sangka. Saat butuh uang, tiba-tiba saja perusahaan tempat kami bekerja membagikan bonus bagi karyawan (padahal sudah beberapa tahun tidak ada pembagian bonus). Di lain waktu, tiba-tiba saja kakak MD dapat rejeki banyak, tanpa diminta sang kakak memberi sejumlah uang.
Pokoknya selalu saja ada jalan keluar yang tak terduga.


*****


Penulis tertarik untuk mendapat info lebih jauh. Mengapa sih MD ini selalu beruntung? Dan… dunia ini memang sempit! Serba kebetulan, di kota asal MD, penulis punya kenalan seorang aktivis vihara (sebut saja E). Penulis mencoba mengorek info dari E, tentang MD.

Berikut ini faktanya. MD adalah seorang aktivis vihara tersebut. Saat masih single (dan sampai sekarang), MD rajin berdana di tiap kegiatan vihara. Acara Waisak, Kathina, Asadha, Maghapuja, bakti sosial, pembangunan vihara,… MD selalu ikut berdana. MD juga merupakan salah seorang donatur tetap yang berdana untuk kebutuhan makan siang Bhante bila ada kunjungan Bhante ke vihara tersebut.

Bagi penulis, MD bukanlah seorang yang beruntung dalam arti seorang “yang terpilih” untuk mendapatkan banyak “keajaiban”, “kemudahan”, dan “keberuntungan” yang tidak didapat orang lain. Ini bukanlah sesuatu yang ajaib, semua yang didapat oleh MD adalah konsekuensi logis. Seperti halnya hukum sebab akibat yang biasa kita alami sehari-hari. Anda mencelupkan tangan ke air, tangan Anda akan basah. Anda menyentuhkan kertas ke api, kertas akan terbakar. Tidak ada yang istimewa.

Sebagai seorang Buddhis, kita sudah sangat sering mendengarkan “Apa yang kita tanam, itulah yang kelak kita petik.” Kita berdana, diharapkan ataupun tidak, suatu saat kita akan memetik hasilnya. Bukan hanya itu, berdana secara teratur adalah salah satu sarana untuk melatih mengurangi kemelekatan. Dalam Buddha Dhamma tidak ada paksaan Anda harus percaya apa yang telah dibabarkan Sang Buddha. Ehipassiko (datang dan buktikanlah sendiri), itu yang harus dilakukan. Bagi penulis, kisah MD hanya satu buktinya nyata kebenaran Dhamma.

Anda tergerak untuk menanam (berdana)? Banyak ladang tempat Anda menanam kebajikan, tapi di bulan Kathina ini, ladang subur tempat menabur benih kebajikan terbuka luas bagi Anda sambil berlatih mengurangi kemelekatan. Berikut ini penulis kutipkan bait pertama dari Dhammapada 354:


Sabbadanam dhammadanam jinati

Dana kebenaran (Dhamma) mengalahkan segala dana


*************************

Redha edisi Asadha 2005


Jaman Serba-Instant


Sekarang jaman serbapraktis, serba-instant. Anda ingin makan mie goreng di tengah malam? Tak usah sibuk cari penjaja mie tek-tek. Anda bisa memasaknya sendiri, bahkan ada yang lebih praktis, cukup seduhkan air panas ke mie instant, lalu campurkan bumbunya, siap dihidangkan. Begitu juga kopi, tak usah bingung siapkan kopi bubuk, gula pasir, atau susu bila mau kopi susu. Semua sudah tersedia, tinggal sobek dan seduh dengan air panas. Mudah bukan?

Trend instant ini juga merambah ke perilaku dan pandangan hidup manusia. Ada yang ingin ngetop secara instant, kaya instant, dan lain-lain. Ada yang memilih jadi kaya secara instant dengan ikut ritual pesugihan, pelihara makhluk halus (seperti tuyul).

Mungkin kisah berikut ini ada di sekitar Anda. Ini kisah nyata, namun sengaja nama orangnya kami ganti demi privasi yang bersangkutan. Tuan N, adalah seorang yang beragama Buddha. Ia sudah menikah dan punya 3 orang anak. Meski sebagai seorang yang beragama Buddha, N tidak begitu tahu apa itu ajaran Sang Buddha. N adalah umat Buddha tradisional, hanya tanggal 1 dan 15 penanggalan Imlek (lunar) pergi ke kelenteng atau ke vihara. Begitu juga istri dan anaknya.

Meski demikian, dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak melanggar rambu-rambu kehidupan dalam masyarakat. Mereka tidak berjudi, tidak minum minuman keras, mereka tidak menjalankan bisnis ilegal, baik pada tetangga. Baginya yang penting rajin bekerja, juga berdoa (ora et labora). Usahanya pun tergolong maju. Semua berjalan normal. Semua sesuai dengan teori, kalau hidup sebagai orang baik, hasilnya akan baik. Mungkin seperti di film, orang baik akan menang di akhir cerita dan yang jahat akan kalah.

Sampai suatu saat terjadilah musibah. Tuan N ditipu pelanggannya. Tokonya terpaksa dijual untuk membayar hutang, kini mereka hidup prihatin dengan menyewa sebuah rumah kecil. Semua harus dimulai dari bawah lagi.

Peristiwa ini yang mengguncang jiwa tuan N. Terlebih tetangganya (sebut saja R yang suka berjudi), di saat yang hampir bersamaan justru menang judi besar. Tuan R jadi kaya raya. “Saya sudah berusaha di jalan yang benar, saya juga tiap 2 minggu sekali ke kelenteng atau vihara. Tapi mengapa saya jadi bangkrut? Tuan R yang suka mabuk, berjudi, bukan ke vihara tapi pergi ke kuburan keramat, ke gua,… sekarang jadi kaya raya. Percuma usaha yang saya lakukan selama ini,” tuan N mengeluh. “Ini tidak adil” lanjutnya.

Sejak itu, tuan N jadi orang yang apatis. Dia lebih banyak diam di rumah, tidak lagi mau mencari nafkah, tidak lagi mau ke vihara. Semua tanggung jawab mencari nafkah diambil alih istri dan anaknya. Baginya, teori jujur mujur, tidak benar. Itu cuma ada di dongeng dan film.

Apakah benar begitu? Masyarakat memang lebih suka yang serba-instant. Ingin segera ada bukti nyata di depan mata. Dalam Buddha Dhamma kita meyakini, apa yang kita tanam, itu yang akan kita petik. Kita tanam padi, hasilnya padi. Tanam durian, tumbuh durian. Lantas kalau kita mengalami kejadian seperti tuan N? Apakah kita akan berpandangan sama: bahwa apa yang diajarkan Sang Buddha tidak benar? Apakah lebih baik kita ikut pergi minta nomor undian ke kuburan keramat daripada ikut kebaktian di vihara?

Apa yang kita tanam, memang itulah yang kita petik. Tapi berbuahnya apa yang kita tanam tidaklah instant (langsung berbuah di kehidupan itu juga). Hasil yang kita tanam bisa kita petik di kehidupan ini, bisa juga di kehidupan yang akan datang. Apa yang kita petik sekarang, bisa jadi yang yang kita tanam sekarang, tapi bisa juga yang kita tanam kehidupan sebelum ini.

Kita tanam padi, 3-4 bulan kemudian kita bisa memetik padi. Tapi kita menanam durian, mungkin 5 tahun kemudian barulah kita akan memetik durian. Apakah kita akan frustasi lantas mengambil kapak dan menebang pohon durian yang kita tanam setelah 4 bulan belum juga berbuah?

Ada contoh kejadian ekstrim lain. Ada yang mencuri, ia memperoleh uang yang banyak, bisa makan enak, tidak tertangkap/ masuk penjara. Di lain pihak ada yang bermata pencaharian benar (misalnya pedagang keliling), dari pagi hingga sore keliling, tak satu pun orang membeli dagangannya. Apakah kita lantas akan berpikir lebih baik beralih profesi jadi pencuri?

Apa yang dibabarkan Sang Buddha hampir 2.600 tahun lalu masih berlaku sampai sekarang. Dalam peristiwa ini, sebaiknya kita bersama merenungkan bait-bait Dhammapada IX, 119-120:

Pembuat kejahatan hanya akan melihat hal baik,
selama buah perbuatan jahatnya belum masak.
Tetapi bila perbuatannya itu masak,
maka ia akan merasakan akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya akan melihat hal buruk,
selama buah perbuatan bajiknya belum masak.
Tetapi bila perbuatannya itu masak,
maka ia akan merasakan akibat-akibatnya yang baik.

*************************

Redha edisi Waisak 2005

Kisah tentang Kebencian

Seorang rekan (sebut saja: Rommy), pernah curhat kepada penulis. Saat masih SD, ia dikenal sebagai anak badung (bandel). Ia selalu membantah nasehat orang tuanya. Semula memang apa yang dikatakan orang tua tidak sesuai dengan keinginannya sebagai seorang anak. Tapi pada akhirnya, membantah apa saja yang dikatakan orang tua jadi kegemarannya (ia merasa “hebat" kalau berani membantah). Disuruh belajar, ia malah bermain, disuruh tidur siang, ia malah kabur lewat jendela. Waktu bermain yang telah diberikan selalu terasa kurang. Yang terpikirkan saat itu hanya main, main, dan main. Apa saja akan ia lakukan agar waktu bermainnya lebih banyak.

Salah satu alasannya adalah belajar kelompok. Dari rumah memang izinnya pergi belajar kelompok, padahal ia pergi bermain. Ketika ketahuan berbohong, ia dimarahi papa dan mamanya. Bahkan dihukum oleh papanya. Apakah ia jera? Ternyata tidak! Segala cara tetap dilakukan agar bisa bermain sepuasnya.

Macam-macam alasan yang dibuatnya: ke rumah teman mau pinjam catatan, membuat tugas kelompok, dan lain-lain. Setiap ketahuan berbohong, ia dimarahi dan dihukum. Hukuman pun semakin lama, semakin berat. Sebenarnya memarahi (baca: menasehati) ataupun menghukum, adalah wujud rasa sayang dan perhatian orang tua kepada anaknya (meskipun ada pro-kontra mengenai pemberian hukuman). Tapi bagi Rommy, papa dan mama benci padanya. Ia juga jadi benci pada orang tuanya. Dari hari ke hari, ia jadi tambah benci.

Suatu hari, ada hal aneh yang terjadi. Biasanya setiap pulang (entah dari belajar kelompok, buat tugas kelompok,… dan lain-lain), ia selalu disambut tatapan penuh curiga dan “diinterogasi” mamanya. Hari itu tidak. Mamanya menyambut dengan senyum manis kepulangan sang buah hati tersayang.

“Waduh… anak mama, kelihatannya capek sekali habis belajar kelompok. Ayo cepat ganti pakaian. Tadi mama belikan es jeruk dan pempek kapal selam kesukaanmu,” sambut mama.

Rommy shock dengan sambutan yang tak terduga itu. Entah apa yang terjadi. Mungkin mamanya sudah bosan menasehatinya? Atau mungkin bohongnya kali ini tidak ketahuan, karena baju dan celana Rommy hari ini tidak lusuh dan kotor karena Rommy hanya bermain monopoli, bukan main petak umpet, atau memanjat pohon jambu? Atau mungkin…???

Saat makan pempek dan minum es, mama menemani dan mengajaknya ngobrol. Jauh sekali dengan keadaan yang diduganya. Biasanya ia akan dimarahi. Tapi setiap kali dimarahi, dalam hati Rommy semakin benci pada orang tuanya dan selalu memunculkan ide baru untuk berbohong. Tapi kali ini…??? Pikirannya jadi berubah. Dari lubuk hatinya muncul kesadaran, rasa bersalah dan penyesalan yang mendalam. “Aku telah berbohong pada mama, tapi aku malah begitu disayang dan diperhatikan mama,” batin Rommy. “Sejak saat itu, aku berjanji dalam hati, aku tidak akan berbohong dan membantah nasehat orang tuaku lagi,” Rommy mengakhiri ceritanya.

Kita tidak tahu apa yang melatarbelakangi perubahan sikap mama Rommy hari itu, yang akhirnya membawa perubahan besar bagi Rommy. Tapi coba kita simak sabda Sang Buddha dalam Dhammapada I, 5

Kebencian tidak akan berakhir bila dibalas dengan kebencian.
Tetapi, kebencian hanya akan berakhir bila dibalas dengan cinta kasih.
Itulah hukum yang abadi.

*************************

This page is powered by Blogger. Isn't yours?